Tanggal 1 Maret 2021 ini, insya Allah Serikat Karyawan Telkom akan berusia 21 tahun. Usia Sekar Telkom ini hampir sama dengan usia reformasi Indonesia, karena kelahiran Serikat ini memang tidak bisa tidak harus dikaitkan dengan datangnya era reformasi tersebut. Apabila dihitung dengan skala decade maka 1 Maret tahun ini adalah tahun pertama decade ketiga-nya. Penting saya noted di awal paragraph mengenai dimensi waktu, karena waktu adalah variable bebas yang sering digunakan untuk membagi bagi etape sebuah perjalanan panjang. “waktu laksana pedang”….. Kata Ali bin Abi Thalib. “waktu itu diam mutlak”…. Kata Newton, sebelum datang bantahan dari Albert Einstein “time is illusion”.

Saya termasuk yang gemar menggunakan waktu, termasuk menerawang sketsa waktu perjalanan Serikat Karyawan Telkom yang keren itu. Simak gambar di bawah ini.

sekar journey

 

Saya membuat segi tiga ini tiga tahun lalu ketika menjadi Sekretaris Jenderal DPP Sekar Telkom, saya coba diskusikan ke segelintir orang, saya coba paparkan di forum-forum terbatas. Namun tak seberapa laku, karena itu terlalu abstrak, barangkali.

Sepuluh tahun pertama Sekar Telkom telah berhasil menempatkan pondasi organisasi, mendemontrasikan jadi dirinya ke khalayak ramai lewat sejumlah aksi, yang membuat public membuka mata dan menerima kehadiran serikat karyawan Telkom yang punya kekuatan komunitas belasan ribu. Untuk urusan internal anggota, Sekar Telkom berhasil membuka pintu dan jendela kesejahteraan selebar-lebarnya, kemudian masuk dan mengisinya dengan sejumlah konsep kesejahteraan yang berjangka pendek maupun panjang. PKB Pertama lahir hanya dua tahun setelah Sekar Telkom berdiri. Basis PKB ini menjadi platform yang terus dikembangkan dari waktu ke waktu. Dalam usia ke 21 ini sudah 8 PKB dihasilkan. Real terjadi, karyawan Telkom selalu mendapat surprise setiap kali PKB diperbaharui. Itu kerja nyata Sekar Telkom.

Sepuluh tahun kedua, tantangan lebih dinamis. Isu di luar dan di dalam organisasi berkelindan. Era demokrasi dan keterbukaan yang semakin matang dan mematangkan Indonesia berimplikasi ke dalam Perusahaan di mana Sekar Telkom ada di sana. Tantangan yang dihadapi perusahaan inheren dengan masalah yang dihadapi Sekar Telkom. Di dua tahun pertama, sempat stagnasi PKB V, namun setelah itu terjadi rally Panjang yang manis sekali. Cara pandang manajemen kepada serikat berubah drastis. Bahkan Dirut Telkom Alex J. Sinaga turut mengkampanyekan agar karyawan baru masuk menjadi anggota Sekar Telkom. Dalam kerangka mewujudkan fungsi Sekar sebagai mitra konstruktif manajemen, Sekar duduk di barisan depan ruang Rapim dan beberapa kali turun ke jalan untuk membela kepentingan perusahaan.

Di dalam organisasi, tema-tema kemitraan selalu digaungkan. Gerakan BBN (baktibaginegeri) lahir di era ini. Aksi voluntir pendidikan para milenial Sekar ini lagi-lagi menyita hati masyarakat. Ratusan ribu buku-buku yang mereka bawa ke ratusan SD di penjuru Indonesia selalu dibungkus dengan dua warna. Telkom dan Serikat Karyawan.

Kampanye BERUANGBERSAMAMEWUJUDKANTELKOMJAYAKARYAWANSEJATERA menjadi mainstream discourse selama bertahun tahun. Soliditas Sekar dan manajemen Telkom disimbolkan dengan tulisan hurup besar tanpa spasi diatas. Narasi itu harus dibaca dalam satu tarikan nafas dan dipahami dalam satu jiwa. Maka manakala kepentingan perushaan mulai mengusik, Sekar Telkom langsung berisik. Dan anggota Komisi I DPR RI terperangah Ketika kami jelaskan bahwa demontrasi di 30 dan 31 Agustus 2017 itu bukan menuntut kenaikan gaji, melainkan membela Indonesia dari invasi asing di bidang telco.

Di penghujung decade kedua,…. Kondisi bisnis telco mengalami titik kulminatif yang turbulence. Imbasnya ke dalam perusahaan sangat terasa. Tantangan itu tidak cukup rupanya. Di luar serangan Pandemi Covid19 yang membuat berantakan banyak program, untuk pertama kali dalam sejarah, Telkom harus menyaksikan pertumbuhan labanya di bawah harapan, 2019 NET Income Telkom tumbuh single digit (hanya) 3,5%. Panggang bonus menjauh dari api, karena konsekwensi itu telah diperjanjikan dalam PKB. Maka kenyataan ini harus diterima sebagai kode alam yang sangat keras. Kata orang luar, Telkom dapat blessing dari bencana itu karena kehidupan berpindah dari real ke virtual, dan itu milik Telkom. Mari buktikan.

Di gelombang ketiga Alvin Toffler menyatakan sebagai abad informasi. Bagi saya sudah saatnya SEKAR MEMBERI. Konsep ini kelanjutan dari gagasan sebelumnya yang sudah banyak terwujud. Beruntungnya, mengawali decade ketiga ini PKB 8 lahir. Saya melihat PKB 8 sebagai PKB terbaik sepanjang masa. Semua kepentingan terakomodasi dengan proporsional. PKB 8 ini menjadi roket pendorong untuk menjalankan misi SEKAR MEMBERI (kepada anggota maupun kepada perusahaan). Masalah-masalah basic terjawab tuntas di PKB 8 segera disempurnakan di PKB 9 yang akan dirundingkan tahun 2021 ini. Dalam decade ketiga ini, masalah internal rumah tangga sudah tidak menjadi isu utama. Di era ini, naskah PKB cukup tiga lembar. Halaman pertama mukaddimah. halaman kedua berisi kesepakatan prosentasi pertumbuhan. Halaman ketiga berisi pasal penutup dan tanda tangan. Perundingan cukup 3 hari saja. Hari pertama opening, hari kedua ketok palu, hari ketiga selebrasi tanda tangan Perjanjian.

Mungkinkah penerawangan absurd ini menjadi nyata?..... tunggu 10 tahun lagi. Namun saya optimis karena jawaban atas pertanyaan itu telah ditorehkan dalam tema ulang tahun Sekar Telkom ke 21 ini : “LET’S GET READY FOR DIGITELCO TRANSFORMATION IN NEXT NORMAL ERA”. Tema ini sangat menjanjikan. Sekar sudah tidak bicara tentang Berjuang Bersama Mewujudkan Telkom Jaya Karyawan Sejahtera. Kalimat itu sudah obsolete dan dikhatamkan di PKB 8. Sekarist Telkom di “gelombang ketiga” ini sudah masuk ke jantung persoalan yaitu readiness to be transformer. Saya tahu gagasan ini datangnya dari anak muda. Kalimat yang jadi tema Ultah ke-21 itu ditulis dalam Bahasa Inggeris yang sempurna. Berbobot ke dalam dan berresonansi jauh ke masa depan.

DIRGAHAYU SEKAR TELKOM,

ABDUL KARIM

Pemerhati Serikat Pekerja, Sekjen DPP SEKAR TELKOM 2016-2019, Penulis buku 20 TAHUN SEKAR TELKOM MERETAS KESEJAHTERAAN, Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Banjarmasin.

ig @bangkarim94

Bahasa Inggerisnya Battle versus War. Dan Perbedaan dua kata tersebut akan mudah dipahami bila kita temukan dalam kalimat terkenal dari Charles d’ Gaulle : “France has lost the battle but she has not lost the war”.

Charles de Gaulle, Jenderal Perancis yang namanya diabadikan jadi nama Bandara di Paris, melalui kata-katanya itu telah membangkitkan semangat prajurit dan rakyat Perancis untuk berjuang membebaskan bangsanya dari pendudukan tentara Jerman. Walau dibantu Sekutu, rakyat Perancis memberontak Jerman dan berhasil membebaskan Paris serta memaksa pasukan Hitler angkat kaki setelah lebih kurang 4 tahun menjajah Perancis. Tepat hari ini, 28 Agustus, 75 tahun yang lalu Pemerintahan de facto Perancis di bawah Charles de Gaulle dimulai.

Saya tidak ingin lanjut membahas sejarah Perancis, saya hanya beranalogi dari kata-kata Charles de Gaulle bahwa jalan panjang menuju kemenangan perang tidak seluruhnya dihasilkan dari kemenangan – kemenangan di tiap pertempuran. Mungkin saja dalam satu front kita kalah, namun kekalahan dalam satu medan pertempuran itu bukan berarti kalah dalam keseluruhan peperangan. Perang adalah sebuah perjalanan. Dan Perjalanan itu boleh jadi sangat panjang.

Dalam “peperangan” modern yang disebut Industrial Relation, kemenangan itu didiskusikan. Bunuh membunuh memang masih terjadi, pertarungan dominasi masih terus berlangsung, namun semuanya terjadi di ruang idea. Pertempurannya ada di ranah logika, senjatanya data dan fakta. Tujuan akhir adalah kemenangan bersama. Maka strateginya adalah win win solution, dan bila diturunkan ke level taktis berarti yang persuasive communication. Itulah sebabnya, ada negosiasi produktif dengan segenap romantikanya. Maka, di pertempuran tertentu kita rela tidak menang, tapi di medan yang lain kita tidak akan kalah. Biarkan kuda dikebiri selama ada pion yg akan jadi menteri.

Kini kita sedang dalam peperangan – sebagai kata vulgar dari Perundingan, yang pada dasarnya sudah berlangsung sejak lama. Setiap perundingan merupakan mile stone dan menghasilkan progress penting. Kini kita sedang dalam perundingan jilid 8. Bila dirangkai dari perundingan pertama hingga ketujuh, kita bisa melihat kondisi yang fluktuatif.

Dalam PKB I tercapai kemenangan yang disebut 2MP, dalam PKB II tercapai kesepakatan yang dinamakan Jasprod 5% unconsolidated. Dalam PKB III diciptakan program faskes pasca kerja untuk rekrut setelah 1995 (yang melahirkan PKS AJB). PKB IV memunculkan Tunjangan Luar Jawa, PKB V memperkenalkan Mid Term Incentive dan BBP 5 tahun. PKB VI restrukturisasi gaji dan TGC, PKB VII membebaskan kawin antar sesama pegawai dan program Re-Hire serta menaikkan tariff restitusi.

Namun di perjalanan panjang itu, dibalik sejumlah kemenangan itu kali pun, kita pernah gagal mendapatkan PKB baru sehingga harus memperpanjang PKB lama, itu terjadi di PKB 2,3, 4 dan 5. Secara specific, Sekar Telkom pernah gagal mempertahankan kesetaraan pensiun dari 2 x THT sehingga anjlok ke 1,7 THT. Kita juga pernah gagal menghidupkan kembali Tunjangan Luar Jawa. Gagal memenangkan usia kerja dari 56 ke 58 dan belum sukses mengubah table penghargaan masa kerja untuk perhitungan rumus manfaat pensiun dari 30 menjadi 32 tahun. Tapi gagal dan sukses itu kita harus maknai sebagai sebuah proses yang empatik. Proses itu terus berjalan dan mempunyai benang merah yang lurus dari waktu ke waktu, sampai nanti mencapai puncak misi serikat yang sekaligus juga misi perusahaan yaitu TELKOM JAYA KARYAWAN SEJAHTERA.

Seni peperangan ini applicable untuk semua problem kehidupan. Mereka yang pandai menggunakannya kemungkinan besar akan tetap eksis.
Selamat berperang…. Eh salah….SELAMAT BERUNDING.

Balikpapan, 28 Agustus 2019

Sembilan belas tahun diriku berkiprah di Sekar Telkom, sejak di tahun 2000 dipilih menjadi Komisariat Cabang Kancatel Kotabaru Pulau Laut (Kalsel) yang anggotanya hanya 18 orang sampai menjadi Sekretaris Jenderal DPP Sekar (2016-2019) saat anggota Sekar Telkom sekitar 13 ribu orang, hanya satu yang secara konsisten saya saksikan di Sekar yaitu cinta.

Cinta itu menjadi perekat soliditas dan solidaritas serikat hingga Sekar tetap satu sampai dengan 19 tahun kiprahnya di Perusahaan ini. Cinta itu pula yang melahirkan PKB I yang spektakuler, kemudian disusul PKB-PKB berikutnya hingga PKB ke-8 yang saat ini sedang dirundingkan.

Setiap PKB selalu melahirkan hal baru. Ide-ide bermunculan dari berbagai kalangan. Dan para petarung perundingan selalu meyakini setiap usulan yang datang dari anggota pasti menyangkut hal kebaikan, maka pantas diperjuangkan. Pengurus Sekar, disaat menyusun draft PKB diajarkan untuk melihat aspirasi anggota sebagai bahan baku utama. Karena aspirasi itu digodok dalam forum-forum terhormat yang demokratis, maka para perunding percaya suara itu adalah suara rakyat. Prinsip itu dipegang dari PKB ke PKB.

Seperti juga laut, romantika organisasi Sekar juga pasang surut, itu lumrah dan dinamika yg terus berubah. Dalam satu masa, sempat bercokol organisasi sejenis di Telkom, tapi tak mendapat tempat di hati, bukan karena mereka tak ber-isi, tetapi lebih karena masih mirip dalam visi dan misi. Hanya dalam hitungan bulan mereka kembali, sehingga karyawan Telkom bulat lagi.
Dalam satu masa yang lain, sempat pula ada riak kecil dalam kepengurusan DPP yang berujung pada lahirnya gagasan Munaslub. Tapi usulan dari 39 DPD saat itu berakhir di atas kertas,…. Sampai periode 2013-2016 itu usai, Sekar tetap guyub.

Sebagai wadah pemersatu, penyalur aspirasi, dan pelindung hak-hak karyawan, Rumah cinta Sekar adalah rumah yang jembar. Banyak harapan yang ditebar sehingga sering mereka tengkar. Datang dan pergi penghuninya membawa gagasan yang aneka rupa. Datang dan pergi Kepala Keluarganya di setiap tiga tahun menghadirkan leadership masing-masing gaya. Perbedaan itu menjadi sumber pertengkaran keluarga dan kadang menimbulkan luka.
Di barisan isi kepala yang beragam, pertengkaran bisa dipicu berbagai alasan. Mulai masalah bungkus sampai soal isi. Mulai masalah citra sampai masalah substansi. Meskipun tujuan perjuangannya sudah disepakati kadang masih saja perang mulut tentang cara berjuangnya. Ada yg langsung ingin demo dan angkat spanduk, ada yang memilih jalur kompromi. Ada yang ingin cara “menipu”, ada yg ingin dengan cara merayu. Dan keributan keluarga itu dipercaya sebagai pertanda semua orang ikut berfikir. Terbukti setelah itu mereka rokok-an, ketawa ketiwi.

Mengapa bisa demikian,…. Karena Sekar memiliki common belief yang menurut Emile Durkheim, sosiolog Perancis (1858-1917) disebut mechanic solidarity. Yaitu adanya nilai-nilai bersama yang diyakini dan dipercaya secara umum yang membuat terjadinya integrasi. Nilai-nilai itu kita pilih sendiri, dan para pendiri Sekar yang mulia, telah dengan hebatnya menuliskan mechanic solidarity itu di dalam alenia kelima mukaddimah Anggaran Dasar Sekar, yang ditulis dengan jelas “Bahwa dengan dilandasi oleh rasa memiliki, rasa kecintaan, dan kebanggaan yang mendalam terhadap perusahaan, serta dengan semangat kebersamaan dan persaudaraan…….. dst.

Mechanic Solidarity itulah yang membuat beribu luka tak bisa hapuskan cinta. (Pinjam lirik lagu Nafas Cinta Inka Christy). Maka sampai kapanpun tidak akan pernah ada cukup alasan bila hanya sekedar “akomodasi kepentingan” yang mampu membuat luka menjadi luka yang berdarah yang menyebabkan Sekar terpisah, even itu sekedar prioritas antara P58 dengan AJB dan DPLK.

Banjarbaru, 15 Agustus 2019