Walau benda ini benar-benar barang baru, Kardone tetap berupaya untuk mengerti. Dia mengernyitkan alis sampai guratan jidatnya mirip senar gitar. Namun Kardone belum juga paham apa itu OTT.

Kardone menemukan terminologi OTT di tiga lapak berbeda. Pertama Lapak tentang Gratifikasi, kedua Lapak tentang Diskusi, ketiga Lapak tentang Telco Industry. Di tiga lapak tersebut Kardone mendapati OTT sering dibicarakan. Ada yang bilang OTT itu Operasi Tangkap Tangan, ada juga yang bilang Out of The Topic.

Semenjak awal 90-an Bill Gate menulis buku Road Ahead yang didalamnya dikisahkan tentang pahlawan baru dunia fana ini yaitu digital, semua orang ternganga, banyak yang mengira bahwa apa yg disebut Bill Gate sebagai smart-card pada saat itu adalah sebuah dongeng fiksi. Keterpanaan itu dibiarkan saja oleh Bill Gate, padahal itu nyata. Dan mereka telah menyiapkan project besar yang disebut Revolusi Digital.

Senyap dan mematikan bagai operasi Tim Mawar “menjemput” mahasiswa Trisakti, revolusi itu terjadi dan tiba-tiba pasukan berseragam warna silver dari planet masa depan telah hadir di pintu rumah kita. Bila Alvin Toffler akan menulis ramalan lagi, mungkin dia tidak sempat memberi judul The Fourth Wave karena gelombang perubahan itu sudah terjadi, bukan “akan terjadi”.

Itulah yang dipikirkan Kardone sambil menyimak arahan CEO-nya mengenai angka-angka muram yang menghadang di 2018.

Provokasi adanya perubahan yang abadi itu sudah menjadi santapan rutin setiap pidato Direktur. Dan perusahaan Telco dimana Kardone bekerja juga sudah mengantisipasi adanya silent revolution dari teknologi digital. Puluhan tahun lalu, kreativitas VoIP sudah diimplementasikan. Itulah percobaan pertama bangkitnya mental enterpreneurship di lingkungan Kardone. Tapi apa lacur. Di negeri asalnya, VoIP adalah temuan yang menuai apresiasi, tetapi di negeri lain penggunaan VoIP menuai jeruji. Teman Kardone sempat meringkuk. Betapa lebar gap antara kita dengan mereka. Bill Gate tersenyum. Steve Jobs terbahak, Larry Page berguling-guling menyaksikan betapa lucunya kejadian itu.

Kini mereka datang, tanpa jaringan, tanpa genset, tanpa tower.... seperti besi sembrani menyedot paku. Mereka hadir membawa paradigma baru bagaimana cara merampas usage pelanggan. Mereka berikan layanan free untuk service yang selama ribuan tahun jadi revenue engine perusahaan telco. Voice Call, Video Call, dan SMS yang biasanya ditarik ongkos perkilobyte-nya, tiba-tiba itu semua hanya jadi suplement. Laksana kerupuk pelezat gado-gado. Free belaka.

Kita dulu sempat bangga dengan layanan VoIP yang dapat mendiskon biaya percakapan global antarnegara permenit sampai separoh harga. Karena ongkos produksi sebuah layanan yang dijalankan di atas internet sangat murah. Maka harga ke end user jadi murah juga. 17017 TelkomGlobal.

Sekarang yang namanya murah itu bukan isu penting lagi. Pricing war itu metode primitif dalam berdagang. Kalau ada yang bicara murah akan terkesan benar-benar jadi murahan. Karena jaman now adalah jaman free. Mereka bebaskan semua ongkos yang selama ini jadi beban pelanggan. Mereka lebih kreatif dalam merekayasa business model-nya. Entah apa bentuknya, kita tidak tahu. Mungkin komodifikasi data pelanggan. Bisa jadi. Karena pada dasarnya dalam bisnis tidak ada yang gratis. Hanya Kardone cukup lugu untuk tahu siapa mensubsidi (memperalat) siapa.

Yang jelas, di atas Internet (internet over) dapat dijalankan semua layanan komunikasi dan media, tidak sekedar voice saja. Convergence yang terjadi secara teknis, dipadu dengan Convergence secara service. sehingga namanya tidak lagi VoIP (voice over internet protocol). Mereka bingung memberi nama sampai akhirnya menemukan satu istilah yang mungkin paling representatif : OVER THE TOP, disingkat OTT. Sampai disini, Kardone menjadi jelas sekaligus menjad bingung.

Apakah OTT bisa dilawan?......

Beberapa negara telah mencoba melawan OTT. Pemerintah India menyeret Yahoo ke pengadilan, tetapi mereka kalah telak. Inggeris dan Australia sampai harus membuat Undang Undang baru untuk memajaki operasi OTT di negara masing-masing. Bagaimana dengan Indonesia.?

Ini bukan ranah Kardone lagi memikirkannya. “secara korporasi saja kita keok”, demikian mental terjajah Kardone berbicara. Ini sudah persoalan keuangan negara, sehingga yang layak mengaum adalah bu Sri. Namun secara regulasi, Menteri terkait yang beberapa waktu lalu Kardone temui, juga tidak tinggal diam. Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Transaksi Elektronik telah direvisi, salah satu pasal yang dianggap jadi jurus ampuh adalah “mewajibkan” pemain OTT pasang Data Center di Indonesia. Dengan begitu mereka harus membuat Badan Usaha Tetap (BUT) dan wajib punya NPWP dan akhirnya pajak bisa dipungut.

Upaya pak Menteri ini diluar nalar Kardone, namun dia keukeuh memikirkan perusahaan tempatnya mengais rejeki. Solusi bagi negara mungkin sudah ditemukan. Dengan kewajiban punya BUT, Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak merasa aman. “welcome OTT di Indonesia, asal Anda bayar pajak”. Tetapi bagaimana dengan pertarungan bisnis telco melawan dico?.....Kata orang pintar, “OTT tidak bisa dilawan”. Telco dan Dico beda mazhab. Jika mau melawan OTT jadilah OTT.

Inilah yang membuat Kardone tambah bingung, bagaimana mungkin kita jadi OTT? Sementara mencatat uang masuk aja masih sering salah sehingga harus dikoreksi di akhir tahun?.......